Piru (25/11/2025), saatkita.com - Polemik pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Desa di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) semakin mencuat dan menjadi perhatian publik, setelah terkuak bahwa proses rekrutmen anggotanya berlangsung tanpa standar persyaratan yang jelas dari Pemerintah Daerah.
Kebijakan yang memaksa desa-desa melakukan rekrutmen tanpa pedoman dasar ini menuai kritik keras dan dinilai sebagai praktik “jual kucing dalam karung”, karena Pemda SBB dianggap tidak menyiapkan syarat, mekanisme, maupun standar kualitas yang wajib diterapkan sebelum program dijalankan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai efektivitas layanan hukum yang akan diterima masyarakat desa.
Ketiadaan standar persyaratan tersebut tidak hanya menunjukkan lemahnya manajemen kebijakan di tingkat kabupaten, tetapi juga mengundang pertanyaan publik mengenai keseriusan Pemda SBB dalam memastikan bahwa layanan hukum desa dijalankan oleh orang yang memenuhi kualifikasi minimal.
Posbakum merupakan program yang menyangkut hak-hak hukum masyarakat, sehingga seharusnya dirancang dengan penuh kehati-hatian, terutama dalam aspek rekrutmen SDM. Namun realitas di lapangan memperlihatkan bahwa Pemda SBB justru melepaskan tanggung jawab tersebut dan membiarkan desa mengambil keputusan sendiri tanpa arahan yang memadai.
Informasi yang beredar menunjukkan bahwa Pemda SBB tidak pernah mengeluarkan dokumen resmi berupa syarat pendidikan, standar kompetensi, maupun pedoman teknis terkait rekrutmen anggota Posbankum. Tidak ada aturan tertulis mengenai kualifikasi dasar, tidak ada SOP layanan hukum, dan tidak ada instruksi terstruktur mengenai apa yang sebenarnya harus menjadi kriteria kelayakan seorang anggota Posbankum. Akibatnya, Kepala Desa terpaksa merekrut berdasarkan pertimbangan internal dan subjektif semata, tanpa mengetahui parameter profesional yang seharusnya menjadi dasar rekrutmen.
Kondisi ini menciptakan disparitas besar antar desa, karena setiap desa menjalankan rekrutmen dengan cara yang berbeda-beda. Ada desa yang menetapkan syarat minimal, ada yang mengutamakan kedekatan personal, dan ada pula yang merekrut tanpa mempertimbangkan kesesuaian kompetensi dengan tugas layanan hukum.
Ketidakseragaman ini sudah cukup membuktikan bahwa Pemda SBB gagal menyediakan payung regulasi yang seharusnya menjadi pedoman utama bagi pelaksanaan program publik.
Praktisi Hukum dan Tokoh Masyarakat SBB, Marsel Maspaitella, S.H., yang ditemui di Piru, Selasa, (25/11/2025), menyampaikan kritik tegas terhadap pola kebijakan Pemda yang dinilai sembrono ini. Menurutnya, desa tidak dapat dipersalahkan karena mereka hanya menerima dan menjalankan instruksi dari pemerintah kabupaten tanpa dibekali standar apa pun. Ia menegaskan bahwa kesalahan terbesar justru berada di tingkat Pemda, khususnya Bupati SBB sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Rekrutmen ini seperti jual kucing dalam karung. Pemda tidak memberikan standar persyaratan apa pun. Desa hanya diperintahkan untuk merekrut tanpa tahu syaratnya. Kesalahan ada pada Pemda ,” tegas Maspaitella.
Menurutnya, pelaksanaan program layanan publik yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat tidak boleh dilakukan tanpa perencanaan matang. Program seperti Posbankum seharusnya dijalankan berdasarkan standar hukum nasional dan kompetensi SDM yang dapat dipertanggungjawabkan tetapi sebagian besar Rekrutmen anggota Posbankum Tidak lulus sekolah formal (SD atau SMP atau SMA atau sederajat) dan tidak mempunyai keahlian penyelesaian non litigasi.
Adapun Kritik publik semakin menguat karena kebijakan rekrutmen Posbankum Desa SBB tidak mengacu pada ketentuan hukum nasional yang telah menetapkan standar resmi dalam penyelenggaraan layanan bantuan hukum. Peraturan tersebut meliputi:
UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menetapkan bahwa pemberi bantuan hukum harus berasal dari OBH terakreditasi, advokat yang bekerja dalam OBH, atau paralegal/dosen/mahasiswa hukum yang berada di bawah pembinaan OBH terakreditasi dan PP No. 42 Tahun 2013, yang mengatur mekanisme verifikasi kelayakan pemberi bantuan hukum, standar kompetensi, serta prosedur pemberian layanan bantuan hukum yang sah.
Regulasi tersebut merupakan standar minimal yang seharusnya diperhatikan Pemda sebelum membentuk Posbankum Desa. Namun hingga kini tidak ada bukti bahwa Pemda SBB menjadikan regulasi ini sebagai referensi atau dasar kebijakan.
Selain itu Bupati SBB dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan program ini karena tidak memastikan adanya standar mutu sebelum rekrutmen dilakukan.
Dengan banyaknya Posbankum Desa di seluruh wilayah SBB, anggaran daerah yang dikeluarkan untuk mendukung operasional program menjadi sangat signifikan. Tanpa standar, tanpa evaluasi kelayakan, dan tanpa pengawasan profesional, penggunaan anggaran tersebut dinilai publik sebagai bentuk pemborosan.
Menurut Marsel Maspaitella, penggunaan anggaran negara untuk program yang tidak memiliki ukuran kualitas merupakan tanda lemahnya integritas kebijakan publik.
“Ketika dana negara dikeluarkan untuk program yang tidak memiliki standar dan tidak direncanakan secara profesional, itu adalah bentuk pemborosan anggaran. Bupati harus menjelaskan bagaimana rekrutmen tanpa syarat dapat diterima sebagai kebijakan daerah,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemborosan anggaran adalah konsekuensi langsung dari kebijakan yang tidak didasarkan pada standar mutu dan tidak memiliki tolok ukur keberhasilan.
Program ini juga tanpa adanya standar resmi dari Pemda, risiko terbesar terletak pada kualitas layanan hukum yang diterima masyarakat desa. Posbankum yang seharusnya menjadi garda terdepan akses hukum justru berpotensi menjadi sumber kebingungan dan informasi hukum yang tidak tepat. Ketiadaan standar layanan dapat menyebabkan masyarakat menerima panduan hukum yang salah, tidak lengkap, atau bahkan menyesatkan.
Selain itu, desa menjadi pihak yang bekerja tanpa pedoman, sehingga pelaksanaan program tidak dapat dievaluasi secara objektif. Hal ini menciptakan kesenjangan kualitas layanan antar desa yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang berharap mendapatkan bantuan hukum yang layak dan profesional.
Program Tanpa Standar Berisiko Merugikan Masyarakat
Tanpa adanya standar resmi dari Pemda, risiko terbesar terletak pada kualitas layanan hukum yang diterima masyarakat desa. Posbankum yang seharusnya menjadi garda terdepan akses hukum justru berpotensi menjadi sumber kebingungan dan informasi hukum yang tidak tepat. Ketiadaan standar layanan dapat menyebabkan masyarakat menerima panduan hukum yang salah, tidak lengkap, atau bahkan menyesatkan.
Selain itu, desa menjadi pihak yang bekerja tanpa pedoman, sehingga pelaksanaan program tidak dapat dievaluasi secara objektif. Hal ini menciptakan kesenjangan kualitas layanan antar desa yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang berharap mendapatkan bantuan hukum yang layak dan profesional. (Nicko Kastanja)
Kebijakan yang memaksa desa-desa melakukan rekrutmen tanpa pedoman dasar ini menuai kritik keras dan dinilai sebagai praktik “jual kucing dalam karung”, karena Pemda SBB dianggap tidak menyiapkan syarat, mekanisme, maupun standar kualitas yang wajib diterapkan sebelum program dijalankan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai efektivitas layanan hukum yang akan diterima masyarakat desa.
Ketiadaan standar persyaratan tersebut tidak hanya menunjukkan lemahnya manajemen kebijakan di tingkat kabupaten, tetapi juga mengundang pertanyaan publik mengenai keseriusan Pemda SBB dalam memastikan bahwa layanan hukum desa dijalankan oleh orang yang memenuhi kualifikasi minimal.
Posbakum merupakan program yang menyangkut hak-hak hukum masyarakat, sehingga seharusnya dirancang dengan penuh kehati-hatian, terutama dalam aspek rekrutmen SDM. Namun realitas di lapangan memperlihatkan bahwa Pemda SBB justru melepaskan tanggung jawab tersebut dan membiarkan desa mengambil keputusan sendiri tanpa arahan yang memadai.
Informasi yang beredar menunjukkan bahwa Pemda SBB tidak pernah mengeluarkan dokumen resmi berupa syarat pendidikan, standar kompetensi, maupun pedoman teknis terkait rekrutmen anggota Posbankum. Tidak ada aturan tertulis mengenai kualifikasi dasar, tidak ada SOP layanan hukum, dan tidak ada instruksi terstruktur mengenai apa yang sebenarnya harus menjadi kriteria kelayakan seorang anggota Posbankum. Akibatnya, Kepala Desa terpaksa merekrut berdasarkan pertimbangan internal dan subjektif semata, tanpa mengetahui parameter profesional yang seharusnya menjadi dasar rekrutmen.
Kondisi ini menciptakan disparitas besar antar desa, karena setiap desa menjalankan rekrutmen dengan cara yang berbeda-beda. Ada desa yang menetapkan syarat minimal, ada yang mengutamakan kedekatan personal, dan ada pula yang merekrut tanpa mempertimbangkan kesesuaian kompetensi dengan tugas layanan hukum.
Ketidakseragaman ini sudah cukup membuktikan bahwa Pemda SBB gagal menyediakan payung regulasi yang seharusnya menjadi pedoman utama bagi pelaksanaan program publik.
Praktisi Hukum dan Tokoh Masyarakat SBB, Marsel Maspaitella, S.H., yang ditemui di Piru, Selasa, (25/11/2025), menyampaikan kritik tegas terhadap pola kebijakan Pemda yang dinilai sembrono ini. Menurutnya, desa tidak dapat dipersalahkan karena mereka hanya menerima dan menjalankan instruksi dari pemerintah kabupaten tanpa dibekali standar apa pun. Ia menegaskan bahwa kesalahan terbesar justru berada di tingkat Pemda, khususnya Bupati SBB sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Rekrutmen ini seperti jual kucing dalam karung. Pemda tidak memberikan standar persyaratan apa pun. Desa hanya diperintahkan untuk merekrut tanpa tahu syaratnya. Kesalahan ada pada Pemda ,” tegas Maspaitella.
Menurutnya, pelaksanaan program layanan publik yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat tidak boleh dilakukan tanpa perencanaan matang. Program seperti Posbankum seharusnya dijalankan berdasarkan standar hukum nasional dan kompetensi SDM yang dapat dipertanggungjawabkan tetapi sebagian besar Rekrutmen anggota Posbankum Tidak lulus sekolah formal (SD atau SMP atau SMA atau sederajat) dan tidak mempunyai keahlian penyelesaian non litigasi.
Adapun Kritik publik semakin menguat karena kebijakan rekrutmen Posbankum Desa SBB tidak mengacu pada ketentuan hukum nasional yang telah menetapkan standar resmi dalam penyelenggaraan layanan bantuan hukum. Peraturan tersebut meliputi:
UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menetapkan bahwa pemberi bantuan hukum harus berasal dari OBH terakreditasi, advokat yang bekerja dalam OBH, atau paralegal/dosen/mahasiswa hukum yang berada di bawah pembinaan OBH terakreditasi dan PP No. 42 Tahun 2013, yang mengatur mekanisme verifikasi kelayakan pemberi bantuan hukum, standar kompetensi, serta prosedur pemberian layanan bantuan hukum yang sah.
Regulasi tersebut merupakan standar minimal yang seharusnya diperhatikan Pemda sebelum membentuk Posbankum Desa. Namun hingga kini tidak ada bukti bahwa Pemda SBB menjadikan regulasi ini sebagai referensi atau dasar kebijakan.
Selain itu Bupati SBB dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan program ini karena tidak memastikan adanya standar mutu sebelum rekrutmen dilakukan.
Dengan banyaknya Posbankum Desa di seluruh wilayah SBB, anggaran daerah yang dikeluarkan untuk mendukung operasional program menjadi sangat signifikan. Tanpa standar, tanpa evaluasi kelayakan, dan tanpa pengawasan profesional, penggunaan anggaran tersebut dinilai publik sebagai bentuk pemborosan.
Menurut Marsel Maspaitella, penggunaan anggaran negara untuk program yang tidak memiliki ukuran kualitas merupakan tanda lemahnya integritas kebijakan publik.
“Ketika dana negara dikeluarkan untuk program yang tidak memiliki standar dan tidak direncanakan secara profesional, itu adalah bentuk pemborosan anggaran. Bupati harus menjelaskan bagaimana rekrutmen tanpa syarat dapat diterima sebagai kebijakan daerah,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemborosan anggaran adalah konsekuensi langsung dari kebijakan yang tidak didasarkan pada standar mutu dan tidak memiliki tolok ukur keberhasilan.
Program ini juga tanpa adanya standar resmi dari Pemda, risiko terbesar terletak pada kualitas layanan hukum yang diterima masyarakat desa. Posbankum yang seharusnya menjadi garda terdepan akses hukum justru berpotensi menjadi sumber kebingungan dan informasi hukum yang tidak tepat. Ketiadaan standar layanan dapat menyebabkan masyarakat menerima panduan hukum yang salah, tidak lengkap, atau bahkan menyesatkan.
Selain itu, desa menjadi pihak yang bekerja tanpa pedoman, sehingga pelaksanaan program tidak dapat dievaluasi secara objektif. Hal ini menciptakan kesenjangan kualitas layanan antar desa yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang berharap mendapatkan bantuan hukum yang layak dan profesional.
Program Tanpa Standar Berisiko Merugikan Masyarakat
Tanpa adanya standar resmi dari Pemda, risiko terbesar terletak pada kualitas layanan hukum yang diterima masyarakat desa. Posbankum yang seharusnya menjadi garda terdepan akses hukum justru berpotensi menjadi sumber kebingungan dan informasi hukum yang tidak tepat. Ketiadaan standar layanan dapat menyebabkan masyarakat menerima panduan hukum yang salah, tidak lengkap, atau bahkan menyesatkan.
Selain itu, desa menjadi pihak yang bekerja tanpa pedoman, sehingga pelaksanaan program tidak dapat dievaluasi secara objektif. Hal ini menciptakan kesenjangan kualitas layanan antar desa yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang berharap mendapatkan bantuan hukum yang layak dan profesional. (Nicko Kastanja)

Posting Komentar