Piru (31/10/2025), saatkita.com - Situasi sosial dan ekonomi di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali memanas, setelah muncul berbagai persoalan yang melibatkan PT. Spice Island Maluku (SIM).
Perusahaan yang sebelumnya digadang-gadang sebagai motor penggerak investasi di sektor perkebunan pisang abaka ini, kini justru meninggalkan jejak kekecewaan, dimana aktivitas usaha terhenti, pekerja diberhentikan secara sepihak, izin usaha dipertanyakan, sehingga janji untuk menggerakan roda ekonomi rakyat belum terpenuhi.
Tokoh muda SBB, Marsel Maspaitella, S.H., dalam rilisnya ke media ini, pada Jumat, (31/10/2025), menilai kondisi ini sebagai bukti ketidakseriusan PT. SIM dalam menjalankan komitmen investasinya di daerah, karena itu ia mendesak agar Bupati SBB bertindak tegas dan segera melaporkan perusahaan tersebut kepada Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Investasi/BKPM untuk meminta pertanggungjawaban hukum dan administratif.
Menurut Maspaitella, PT. Spice Island Maluku yang awalnya menjanjikan pembukaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi di sejumlah desa, seperti Hatusua, Nuruwe, Kawa, dan Pelita Jaya, namun, dalam perjalanan, perusahaan justru menghentikan kegiatan operasionalnya hanya dengan alasan tanah bermasalah yang dampaknya menekan Pemda SBB, bahkan Perusahaan juga melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerja lokal, tanpa proses mediasi dan tanpa pemberian hak normatif sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 jo UU No. 6 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan.
Pengacara yang biasanya disapa Marsel ini menyebut, tindakan PT. SIM ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi bentuk pengingkaran terhadap asas keadilan sosial dan kemanusiaan dalam dunia kerja.
“Perusahaan tidak bisa datang ke daerah, menggunakan sumber daya manusia dan tanah masyarakat, lalu pergi begitu saja tanpa tanggung jawab. Ini bentuk kolonialisme ekonomi gaya baru,” ujarnya tajam.
Ketidakseriusan perusahaan dalam menjalankan investasinya telah menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang besar bagi warga SBB yakni:
1. Ratusan pekerja kehilangan pekerjaan dan penghasilan tanpa kepastian masa depan.
2. Program CSR yang dijanjikan berhenti total, termasuk bantuan pendidikan, sosial, dan infrastruktur desa.
3. Sengketa lahan antara masyarakat adat dan perusahaan meningkat, menimbulkan potensi konflik horizontal.
4. Reputasi daerah sebagai wilayah ramah investasi tercoreng, membuat calon investor lain ragu menanamkan modalnya.
5. Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah menurun, karena dianggap tidak mampu melindungi rakyat dari praktik korporasi yang sewenang-wenang.
Maispatella menegaskan, dampak ini tidak bisa diabaikan karena, ini persoalan nasib manusia bukan sekedar angka investasi, sehingga jika Pemerintah Daerah tidak menegakkan aturan, maka keadilan hanya menjadi slogan kosong di Seram Bagian Barat.
Praktisi Hukum ini juga mendesak, Bupati Seram Bagian Barat untuk mengambil langkah tegas dan terukur, tidak sekadar melakukan teguran administratif, melainkan menempuh langkah hukum yang nyata dan terbuka.
“Langkah pertama yang harus dilakukan Bupati adalah, melaporkan PT. SIM secara resmi ke Menteri Ketenagakerjaan RI dan Menteri Investasi/BKPM. Ini penting agar pemerintah pusat mengetahui kegagalan implementasi investasi di SBB dan menindak tegas pelanggaran perusahaan,” ujarnya.
Selain pelaporan ke kementerian, Bupati juga perlu:
1. Memerintahkan Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Penanaman Modal SBB melakukan audit menyeluruh atas aktivitas dan izin usaha PT. SIM.
2. Membentuk tim evaluasi independen bersama DPRD dan unsur masyarakat sipil untuk menelusuri kerugian sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
3.meninjau ulang seluruh perizinan investasi perusahaan apabila ditemukan unsur wanprestasi atau pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
“Jika Bupati tetap diam, maka diam itu adalah bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hukum,” tambah Marsel.
Kewajiban Moral dan Politik Pemerintah Daerah
Menurut Marsel Sebagai kepala daerah, Bupati memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk melindungi warganya dari ketidakadilan.
Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa kepala daerah wajib menjamin kesejahteraan rakyat dan menegakkan hukum di wilayahnya.
Marsel menilai, kelalaian pemerintah dalam menindak PT. SIM akan menjadi preseden buruk dan memperlemah posisi masyarakat di hadapan modal besar.
"Pemerintah daerah harus mengerti, keberpihakan pada rakyat bukan pilihan, tetapi kewajiban. Karena setiap izin investasi pada dasarnya adalah kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Ketika rakyat dirugikan, kontrak itu batal secara moral,” imbuhnya.
DPRD SBB Juga Tak Boleh Bungkam
Marsel juga menyoroti peran DPRD Kabupaten SBB yang dinilai belum maksimal dalam menjalankan fungsi pengawasan.
“DPRD jangan sekadar diam di balik meja sidang. DPRD punya hak untuk membentuk pansus, bukan sekedar pangil perusahaan setamat tanpa adanya ketegasan yang kurang dari dprd sbb,” tegasnya.
Penutup
Kasus PT. Spice Island Maluku adalah simbol gagalnya integritas investasi di Seram Bagian Barat.
Tokoh muda SBB, Marsel Maspaitella, S.H., menegaskan bahwa tidak ada investasi yang lebih berharga dari keadilan dan kesejahteraan rakyat.
“Bupati SBB harus berani. Laporkan PT. SIM ke kementerian, evaluasi izinnya, dan bela rakyatmu. Karena pemimpin yang diam saat rakyatnya dirugikan, sejatinya telah gagal memimpin,” tegas Marsel.
Rakyat kini menunggu langkah nyata, bukan sekadar janji atau seremonial. Sebab tanggung jawab atas penderitaan masyarakat bukan di tangan perusahaan, melainkan di pundak pemimpin daerah. (Nicko Kastanja)
Perusahaan yang sebelumnya digadang-gadang sebagai motor penggerak investasi di sektor perkebunan pisang abaka ini, kini justru meninggalkan jejak kekecewaan, dimana aktivitas usaha terhenti, pekerja diberhentikan secara sepihak, izin usaha dipertanyakan, sehingga janji untuk menggerakan roda ekonomi rakyat belum terpenuhi.
Tokoh muda SBB, Marsel Maspaitella, S.H., dalam rilisnya ke media ini, pada Jumat, (31/10/2025), menilai kondisi ini sebagai bukti ketidakseriusan PT. SIM dalam menjalankan komitmen investasinya di daerah, karena itu ia mendesak agar Bupati SBB bertindak tegas dan segera melaporkan perusahaan tersebut kepada Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Investasi/BKPM untuk meminta pertanggungjawaban hukum dan administratif.
Menurut Maspaitella, PT. Spice Island Maluku yang awalnya menjanjikan pembukaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi di sejumlah desa, seperti Hatusua, Nuruwe, Kawa, dan Pelita Jaya, namun, dalam perjalanan, perusahaan justru menghentikan kegiatan operasionalnya hanya dengan alasan tanah bermasalah yang dampaknya menekan Pemda SBB, bahkan Perusahaan juga melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerja lokal, tanpa proses mediasi dan tanpa pemberian hak normatif sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 jo UU No. 6 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan.
Pengacara yang biasanya disapa Marsel ini menyebut, tindakan PT. SIM ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi bentuk pengingkaran terhadap asas keadilan sosial dan kemanusiaan dalam dunia kerja.
“Perusahaan tidak bisa datang ke daerah, menggunakan sumber daya manusia dan tanah masyarakat, lalu pergi begitu saja tanpa tanggung jawab. Ini bentuk kolonialisme ekonomi gaya baru,” ujarnya tajam.
Ketidakseriusan perusahaan dalam menjalankan investasinya telah menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang besar bagi warga SBB yakni:
1. Ratusan pekerja kehilangan pekerjaan dan penghasilan tanpa kepastian masa depan.
2. Program CSR yang dijanjikan berhenti total, termasuk bantuan pendidikan, sosial, dan infrastruktur desa.
3. Sengketa lahan antara masyarakat adat dan perusahaan meningkat, menimbulkan potensi konflik horizontal.
4. Reputasi daerah sebagai wilayah ramah investasi tercoreng, membuat calon investor lain ragu menanamkan modalnya.
5. Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah menurun, karena dianggap tidak mampu melindungi rakyat dari praktik korporasi yang sewenang-wenang.
Maispatella menegaskan, dampak ini tidak bisa diabaikan karena, ini persoalan nasib manusia bukan sekedar angka investasi, sehingga jika Pemerintah Daerah tidak menegakkan aturan, maka keadilan hanya menjadi slogan kosong di Seram Bagian Barat.
Praktisi Hukum ini juga mendesak, Bupati Seram Bagian Barat untuk mengambil langkah tegas dan terukur, tidak sekadar melakukan teguran administratif, melainkan menempuh langkah hukum yang nyata dan terbuka.
“Langkah pertama yang harus dilakukan Bupati adalah, melaporkan PT. SIM secara resmi ke Menteri Ketenagakerjaan RI dan Menteri Investasi/BKPM. Ini penting agar pemerintah pusat mengetahui kegagalan implementasi investasi di SBB dan menindak tegas pelanggaran perusahaan,” ujarnya.
Selain pelaporan ke kementerian, Bupati juga perlu:
1. Memerintahkan Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Penanaman Modal SBB melakukan audit menyeluruh atas aktivitas dan izin usaha PT. SIM.
2. Membentuk tim evaluasi independen bersama DPRD dan unsur masyarakat sipil untuk menelusuri kerugian sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
3.meninjau ulang seluruh perizinan investasi perusahaan apabila ditemukan unsur wanprestasi atau pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
“Jika Bupati tetap diam, maka diam itu adalah bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hukum,” tambah Marsel.
Kewajiban Moral dan Politik Pemerintah Daerah
Menurut Marsel Sebagai kepala daerah, Bupati memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk melindungi warganya dari ketidakadilan.
Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa kepala daerah wajib menjamin kesejahteraan rakyat dan menegakkan hukum di wilayahnya.
Marsel menilai, kelalaian pemerintah dalam menindak PT. SIM akan menjadi preseden buruk dan memperlemah posisi masyarakat di hadapan modal besar.
"Pemerintah daerah harus mengerti, keberpihakan pada rakyat bukan pilihan, tetapi kewajiban. Karena setiap izin investasi pada dasarnya adalah kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Ketika rakyat dirugikan, kontrak itu batal secara moral,” imbuhnya.
DPRD SBB Juga Tak Boleh Bungkam
Marsel juga menyoroti peran DPRD Kabupaten SBB yang dinilai belum maksimal dalam menjalankan fungsi pengawasan.
“DPRD jangan sekadar diam di balik meja sidang. DPRD punya hak untuk membentuk pansus, bukan sekedar pangil perusahaan setamat tanpa adanya ketegasan yang kurang dari dprd sbb,” tegasnya.
Penutup
Kasus PT. Spice Island Maluku adalah simbol gagalnya integritas investasi di Seram Bagian Barat.
Tokoh muda SBB, Marsel Maspaitella, S.H., menegaskan bahwa tidak ada investasi yang lebih berharga dari keadilan dan kesejahteraan rakyat.
“Bupati SBB harus berani. Laporkan PT. SIM ke kementerian, evaluasi izinnya, dan bela rakyatmu. Karena pemimpin yang diam saat rakyatnya dirugikan, sejatinya telah gagal memimpin,” tegas Marsel.
Rakyat kini menunggu langkah nyata, bukan sekadar janji atau seremonial. Sebab tanggung jawab atas penderitaan masyarakat bukan di tangan perusahaan, melainkan di pundak pemimpin daerah. (Nicko Kastanja)

Posting Komentar