Piru (12/11/2025), saatkita.com - Praktisi hukum minta kasus Nuruwe ditangani adil, tanah adat dihormati, dan polisi gunakan diskresi yang bermoral. Marsel Maspaitella. S.H., yang juga tokoh masyarakat ini, menyampaikan keprihatinan atas upaya polisi yang bakal memproses hukum pelaku palang jalan.
Menurutnya, pernyataan ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat yang sedang berduka dan menuntut kebenaran atas kasus pembunuhan warga Desa Nuruwe yang hingga kini penegakannya penuh kejanggalan.
Karena persoalan ini, Maispatela mengungkapkan 4 poin penting yakni:
1. Pemalangan Jalan Adalah Jeritan Nurani, Bukan Tindakan Kriminal
Masyarakat Desa Nuruwe tidak sedang melawan hukum. Mereka sedang melawan ketidakadilan. Aksi pemalangan jalan yang terjadi bukanlah perbuatan anarkis, melainkan tindakan moral menuntut keadilan karena mereka melihat penyidik yang seharusnya menjaga hukum justru bermain di wilayah abu-abu.
Ada dugaan serius bahwa tersangka kasus pembunuhan warga Nuruwe dibebaskan keluar tahanan hanya karena alasan wisuda.
Jika benar, hal ini merupakan penghinaan terhadap rasa keadilan publik dan bentuk ketidakpatuhan terhadap prosedur hukum pidana.
Di tengah duka keluarga korban, masyarakat melihat hukum dipermainkan.
Dalam situasi seperti ini, pemalangan bukan bentuk perlawanan terhadap negara, tetapi panggilan hati nurani agar negara hadir secara benar.
2. Polisi Harus Gunakan Diskresi yang Sehat dan Berhati Nurani
Maispatela meminta jajaran Polres Seram Bagian Barat bahwa hukum tidak boleh menjadi alat menakut-nakuti rakyat, terutama ketika rakyat berada di posisi korban.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian memberi kewenangan diskresi, tetapi diskresi harus dijalankan dengan moral, kepatutan, dan keadilan.
Menangkap warga yang menuntut kebenaran tanpa menyentuh akar masalah adalah diskresi yang cacat moral.
Maispatela meminta Propam Polda Maluku segera turun tangan mengevaluasi kinerja penyidik terhadap memeriksa dugaan pelanggaran prosedur dalam penanganan kasus pembunuhan Nuruwe.
Sebab keadilan tidak bisa ditegakkan di atas pembiaran dan arogansi kekuasaan.
3. Negara Lalai untuk Membebaskan Lahan Milik Masyarakat Guna Keperluan Jalan Trans Seram
Maspaitella menegaskan bahwa negara telah lalai dan abai dalam melaksanakan kewajiban hukumnya untuk melakukan membebaskan lahan milik masyarakat adat yang digunakan dalam pembangunan Jalan Trans Seram.
Hingga kini, tidak pernah ada proses resmi pembayaran ganti rugi terhadap tanah adat yang dilalui proyek tersebut belum jelas statusnya.
Negara menggunakan tanah masyarakat tanpa dasar hukum yang sah — sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagaimana dijamin dalam:
a.. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
b. Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan pengakuan atas hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang secara tegas mengatur bahwa pembangunan jalan umum wajib melalui tahapan identifikasi, konsultasi publik, dan pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemegang hak atas tanah.
3. Status Jalan Trans Seram Harus Diperjelas: "Tanah Adat atau ka Tanah Negara"
Fakta lapangan menunjukkan bahwa Jalan Trans Seram yang dipalang oleh masyarakat hingga kini belum memiliki alasan yang sah terhadap ganti kerugian lahan yang layak.
Dugaan negara belum pernah melakukan pembayaran ganti rugi yang layak atas tanah yang dilalui jalan tersebut.
Oleh karena itu, tindakan masyarakat di atas tanah mereka sendiri tidak dapat dikriminalisasi.
Menggunakan pasal pidana terhadap pemilik hak tanah masyarakat adat, adalah bentuk penyalahgunaan hukum publik terhadap kepemilikan tanah masyarakat adat yang justru dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). sekalipun merupakan jalan raya.
4. Himbauan Moral dan Seruan Keadilan
Maispatela mengajak semua pihak — aparat, pejabat, media, dan masyarakat — untuk berhenti menstigma rakyat sebagai pelaku kriminal setiap kali mereka bersuara.
Negara tidak boleh buta terhadap luka keadilan di tengah rakyatnya sendiri.
Polisi harus menjadi pengayom, bukan penguasa.
Pemerintah harus menjadi penyembuh, bukan pembenam luka dan media harus menjadi penyampai kebenaran, bukan pengeras suara kekuasaan.
"Keadilan tidak lahir dari senjata dan borgol, tetapi dari hati yang mau mendengar jeritan rakyat kecil dalam dunia penegakan hukum di Kabupaten SBB yang adil, transparansi dan proporsional," tandasnya. (Nicko Kastanja)
Menurutnya, pernyataan ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat yang sedang berduka dan menuntut kebenaran atas kasus pembunuhan warga Desa Nuruwe yang hingga kini penegakannya penuh kejanggalan.
Karena persoalan ini, Maispatela mengungkapkan 4 poin penting yakni:
1. Pemalangan Jalan Adalah Jeritan Nurani, Bukan Tindakan Kriminal
Masyarakat Desa Nuruwe tidak sedang melawan hukum. Mereka sedang melawan ketidakadilan. Aksi pemalangan jalan yang terjadi bukanlah perbuatan anarkis, melainkan tindakan moral menuntut keadilan karena mereka melihat penyidik yang seharusnya menjaga hukum justru bermain di wilayah abu-abu.
Ada dugaan serius bahwa tersangka kasus pembunuhan warga Nuruwe dibebaskan keluar tahanan hanya karena alasan wisuda.
Jika benar, hal ini merupakan penghinaan terhadap rasa keadilan publik dan bentuk ketidakpatuhan terhadap prosedur hukum pidana.
Di tengah duka keluarga korban, masyarakat melihat hukum dipermainkan.
Dalam situasi seperti ini, pemalangan bukan bentuk perlawanan terhadap negara, tetapi panggilan hati nurani agar negara hadir secara benar.
2. Polisi Harus Gunakan Diskresi yang Sehat dan Berhati Nurani
Maispatela meminta jajaran Polres Seram Bagian Barat bahwa hukum tidak boleh menjadi alat menakut-nakuti rakyat, terutama ketika rakyat berada di posisi korban.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian memberi kewenangan diskresi, tetapi diskresi harus dijalankan dengan moral, kepatutan, dan keadilan.
Menangkap warga yang menuntut kebenaran tanpa menyentuh akar masalah adalah diskresi yang cacat moral.
Maispatela meminta Propam Polda Maluku segera turun tangan mengevaluasi kinerja penyidik terhadap memeriksa dugaan pelanggaran prosedur dalam penanganan kasus pembunuhan Nuruwe.
Sebab keadilan tidak bisa ditegakkan di atas pembiaran dan arogansi kekuasaan.
3. Negara Lalai untuk Membebaskan Lahan Milik Masyarakat Guna Keperluan Jalan Trans Seram
Maspaitella menegaskan bahwa negara telah lalai dan abai dalam melaksanakan kewajiban hukumnya untuk melakukan membebaskan lahan milik masyarakat adat yang digunakan dalam pembangunan Jalan Trans Seram.
Hingga kini, tidak pernah ada proses resmi pembayaran ganti rugi terhadap tanah adat yang dilalui proyek tersebut belum jelas statusnya.
Negara menggunakan tanah masyarakat tanpa dasar hukum yang sah — sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagaimana dijamin dalam:
a.. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
b. Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan pengakuan atas hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang secara tegas mengatur bahwa pembangunan jalan umum wajib melalui tahapan identifikasi, konsultasi publik, dan pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemegang hak atas tanah.
3. Status Jalan Trans Seram Harus Diperjelas: "Tanah Adat atau ka Tanah Negara"
Fakta lapangan menunjukkan bahwa Jalan Trans Seram yang dipalang oleh masyarakat hingga kini belum memiliki alasan yang sah terhadap ganti kerugian lahan yang layak.
Dugaan negara belum pernah melakukan pembayaran ganti rugi yang layak atas tanah yang dilalui jalan tersebut.
Oleh karena itu, tindakan masyarakat di atas tanah mereka sendiri tidak dapat dikriminalisasi.
Menggunakan pasal pidana terhadap pemilik hak tanah masyarakat adat, adalah bentuk penyalahgunaan hukum publik terhadap kepemilikan tanah masyarakat adat yang justru dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). sekalipun merupakan jalan raya.
4. Himbauan Moral dan Seruan Keadilan
Maispatela mengajak semua pihak — aparat, pejabat, media, dan masyarakat — untuk berhenti menstigma rakyat sebagai pelaku kriminal setiap kali mereka bersuara.
Negara tidak boleh buta terhadap luka keadilan di tengah rakyatnya sendiri.
Polisi harus menjadi pengayom, bukan penguasa.
Pemerintah harus menjadi penyembuh, bukan pembenam luka dan media harus menjadi penyampai kebenaran, bukan pengeras suara kekuasaan.
"Keadilan tidak lahir dari senjata dan borgol, tetapi dari hati yang mau mendengar jeritan rakyat kecil dalam dunia penegakan hukum di Kabupaten SBB yang adil, transparansi dan proporsional," tandasnya. (Nicko Kastanja)

Posting Komentar