Saumlaki (21/10/2025), saatkita.com - Bupati Kepulauan Tanimbar, Ricky Jauwerissa akhirnya angkat bicara menanggapi tudingan bahwa dirinya bersikap represif terhadap sejumlah tenaga PPPK paruh waktu yang melakukan aksi demonstrasi beberapa waktu lalu.
Dalam pernyataannya, Bupati Jauwerissa menegaskan, bahwa langkah hukum yang ditempuh pemerintah daerah bukan bentuk kriminalisasi rakyat, melainkan bagian dari tanggung jawab konstitusional untuk menjaga ketertiban, menghormati hukum, dan melindungi kepentingan bersama.
"Saya ingin meluruskan. Tidak ada satu pun warga yang diproses karena menyampaikan aspirasi. Tapi ketika aksi berubah menjadi anarkis dan merusak fasilitas negara, itu sudah wilayah hukum. Pemerintah tidak boleh tinggal diam,"tegas Jauwerissa di Saumlaki pada, Rabu (22/10/2025).
Bupati menjelaskan, sejak awal dirinya menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum, bahkan pada saat aksi 1 Oktober lalu, ia langsung menemui para demonstran dan mendengar keluhan mereka secara terbuka, baik di Kantor Bupati maupun di halaman DPRD Kewarbotan.
"Beta tahu betul perasaan mereka. Banyak dari mereka sudah mengabdi belasan tahun. Tapi beta juga harus menjaga agar penyampaian aspirasi tetap dalam koridor hukum," ujar Jauwerissa.
Menurut Bupati, demokrasi hanya bisa hidup jika dijalankan dengan cara yang beradab, Ia menilai tindakan perusakan fasilitas kantor pemerintah tidak lagi mencerminkan perjuangan aspiratif, melainkan dapat merugikan banyak pihak.
"Saya tidak ingin ada warga saya yang berhadapan dengan hukum. Tapi saya juga tidak bisa menutup mata ketika ada pelanggaran nyata. Itu tanggung jawab moral saya sebagai kepala daerah," ungkapnya.
Dirinya membantah keras, tudingan bahwa laporan polisi merupakan perintah langsung dirinya untuk “membungkam suara rakyat”.
Ia menegaskan, laporan tersebut hasil dari koordinasi dengan bagian hukum dan beberapa pihak lingkup pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, menyusul adanya laporan kerusakan fasilitas negara.
"Jangan salah paham. Saya tidak memerintah siapa pun untuk menahan atau menakut-nakuti rakyat. Tapi kalau ada bukti pelanggaran, proses hukum harus tetap berjalan. Itu bagian dari tata kelola pemerintahan yang benar," tegasnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga menerima informasi bahwa ada oknum yang memanfaatkan momen aksi untuk memprovokasi massa, sehingga situasi yang awalnya damai menjadi tidak terkendali.
"Saya sangat menghargai tenaga P3K kita. Tapi ketika aksi dimanfaatkan oleh pihak lain, maka itu bukan lagi soal hak berpendapat, melainkan upaya mengacaukan ketertiban," tandasnya.
Bupati Jauwerissa mengaku memahami keresahan para tenaga P3K yang merasa belum mendapatkan keadilan dalam seleksi. Ia berjanji akan terus membuka ruang dialog dan evaluasi terhadap sistem rekrutmen, selama disampaikan dengan cara yang benar.
"Pemerintah ini rumah bersama. Kalau ada masalah, datanglah bicara baik-baik. Beta dan Ibu Wakil tidak anti kritik. Tapi marilah kita jaga agar cara menyampaikan pendapat tidak melukai kepentingan orang banyak," ujarnya.
Jauwerissa menekankan, bahwa dirinya tidak ingin pemerintahan yang ia pimpin menjadi alat kekuasaan yang menekan rakyat. Sebaliknya, ia berupaya menegakkan keseimbangan antara hak rakyat untuk bersuara dan kewajiban pemerintah menjaga keteraturan.
"Kritik saya boleh, bahkan keras sekalipun. Tapi jangan sampai kita mengorbankan rasa aman dan tertib di bumi Duan Lolat ini. Beta mau Tanimbar tetap damai dan beradab," imbuhnya.
Jauwerissa mengakui bahwa insiden aksi P3K paruh waktu menjadi pengalaman penting di awal masa kepemimpinannya. Ia menyebut peristiwa itu sebagai pengingat bahwa kekuasaan harus selalu berpijak pada rasa kemanusiaan dan keadilan.
"Kepemimpinan bukan soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kita melayani dengan hati, sekaligus menegakkan aturan dengan tegas. Beta belajar dari semua ini," tutupnya. (Nicko Kastanja)
Dalam pernyataannya, Bupati Jauwerissa menegaskan, bahwa langkah hukum yang ditempuh pemerintah daerah bukan bentuk kriminalisasi rakyat, melainkan bagian dari tanggung jawab konstitusional untuk menjaga ketertiban, menghormati hukum, dan melindungi kepentingan bersama.
"Saya ingin meluruskan. Tidak ada satu pun warga yang diproses karena menyampaikan aspirasi. Tapi ketika aksi berubah menjadi anarkis dan merusak fasilitas negara, itu sudah wilayah hukum. Pemerintah tidak boleh tinggal diam,"tegas Jauwerissa di Saumlaki pada, Rabu (22/10/2025).
Bupati menjelaskan, sejak awal dirinya menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum, bahkan pada saat aksi 1 Oktober lalu, ia langsung menemui para demonstran dan mendengar keluhan mereka secara terbuka, baik di Kantor Bupati maupun di halaman DPRD Kewarbotan.
"Beta tahu betul perasaan mereka. Banyak dari mereka sudah mengabdi belasan tahun. Tapi beta juga harus menjaga agar penyampaian aspirasi tetap dalam koridor hukum," ujar Jauwerissa.
Menurut Bupati, demokrasi hanya bisa hidup jika dijalankan dengan cara yang beradab, Ia menilai tindakan perusakan fasilitas kantor pemerintah tidak lagi mencerminkan perjuangan aspiratif, melainkan dapat merugikan banyak pihak.
"Saya tidak ingin ada warga saya yang berhadapan dengan hukum. Tapi saya juga tidak bisa menutup mata ketika ada pelanggaran nyata. Itu tanggung jawab moral saya sebagai kepala daerah," ungkapnya.
Dirinya membantah keras, tudingan bahwa laporan polisi merupakan perintah langsung dirinya untuk “membungkam suara rakyat”.
Ia menegaskan, laporan tersebut hasil dari koordinasi dengan bagian hukum dan beberapa pihak lingkup pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, menyusul adanya laporan kerusakan fasilitas negara.
"Jangan salah paham. Saya tidak memerintah siapa pun untuk menahan atau menakut-nakuti rakyat. Tapi kalau ada bukti pelanggaran, proses hukum harus tetap berjalan. Itu bagian dari tata kelola pemerintahan yang benar," tegasnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga menerima informasi bahwa ada oknum yang memanfaatkan momen aksi untuk memprovokasi massa, sehingga situasi yang awalnya damai menjadi tidak terkendali.
"Saya sangat menghargai tenaga P3K kita. Tapi ketika aksi dimanfaatkan oleh pihak lain, maka itu bukan lagi soal hak berpendapat, melainkan upaya mengacaukan ketertiban," tandasnya.
Bupati Jauwerissa mengaku memahami keresahan para tenaga P3K yang merasa belum mendapatkan keadilan dalam seleksi. Ia berjanji akan terus membuka ruang dialog dan evaluasi terhadap sistem rekrutmen, selama disampaikan dengan cara yang benar.
"Pemerintah ini rumah bersama. Kalau ada masalah, datanglah bicara baik-baik. Beta dan Ibu Wakil tidak anti kritik. Tapi marilah kita jaga agar cara menyampaikan pendapat tidak melukai kepentingan orang banyak," ujarnya.
Jauwerissa menekankan, bahwa dirinya tidak ingin pemerintahan yang ia pimpin menjadi alat kekuasaan yang menekan rakyat. Sebaliknya, ia berupaya menegakkan keseimbangan antara hak rakyat untuk bersuara dan kewajiban pemerintah menjaga keteraturan.
"Kritik saya boleh, bahkan keras sekalipun. Tapi jangan sampai kita mengorbankan rasa aman dan tertib di bumi Duan Lolat ini. Beta mau Tanimbar tetap damai dan beradab," imbuhnya.
Jauwerissa mengakui bahwa insiden aksi P3K paruh waktu menjadi pengalaman penting di awal masa kepemimpinannya. Ia menyebut peristiwa itu sebagai pengingat bahwa kekuasaan harus selalu berpijak pada rasa kemanusiaan dan keadilan.
"Kepemimpinan bukan soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kita melayani dengan hati, sekaligus menegakkan aturan dengan tegas. Beta belajar dari semua ini," tutupnya. (Nicko Kastanja)
Posting Komentar