Piru (4/8/2025), saatkita.com - Aktifitas PT Spice Island Maluku (SIM), yang melakukan penanaman Pisang Abaka di sejumlah wilayah Kabupaten SBB, mendapat sorotan tajam dari salah satu tokoh tiga batang air, Aleksander Panna, S.E.
Dalam pernyataannya lewat saluran komunikasi WhatsApp pada, Senin, (4/8/2025) Panna menyatakan secara tegas bahwa, sebagai tokoh adat Negeri Sapalewa dirinya tidak menolak investasi di Saka Mese Nusa, hanya perhatian perusahaan terhadap anak asli di Kabupaten SBB yang harus menjadi prioritas.
Salah satu poin yang menjadi perhatian dari tokoh adat ini adalah, harga sewa lahan dari perusahaan kepada pemilik lahan yang ditanami Pisang Abaka tersebut, dimana dalam satu hektar lahan, para pemilik lahan hanya mendapatkan nominal sebesar Rp3.000.000. hingga Rp5.000.000 per 30 Tahun penggunaan lahan.
Untuk itu, jika dikonversikan maka, pada setiap tahun para Pemilik Lahan Pisang Abaka tersebut hanya memperoleh Rp100.000 hingga Rp116.000 perhektar lahan.
"Jumlah nominal itu terlalu kecil, saya meminta para tokoh adat tiga batang air: Etty, Tala dan Sapalewa, bersama pemilik lahan dan perusahaan PT SIM untuk duduk bersama satu meja, dan memperhitungkan ulang kesepakatan kontrak yang merugikan anak adat SBB ini, " cetus Panna.
Selain itu, Panna juga meminta para anak adat pemilik wilayah petuanan, untuk tidak melakukan kontrak lahan kepada Perusahaan diatas 30 Tahun, pasalnya jika kontraknya diatas 30 Tahun, maka hak kepemilikan atas wilayah petuanan bisa hilang.
Menurut Panna, ketegasan pihaknya terhadap perusahaan PT SIM yang melakukan penanaman Pisang Abaka di sejumlah wilayah di Kabupaten SBB ini, selain melindungi hak anak adat, juga berdasarkan pengalaman yang terjadi di wilayah perkebunan Kelapa Sawit di Latea dimana anak pemilik lahan yang bekerja di perusahaan tersebut terkena sanksi pemecatan. (Nicko Kastanja)
Dalam pernyataannya lewat saluran komunikasi WhatsApp pada, Senin, (4/8/2025) Panna menyatakan secara tegas bahwa, sebagai tokoh adat Negeri Sapalewa dirinya tidak menolak investasi di Saka Mese Nusa, hanya perhatian perusahaan terhadap anak asli di Kabupaten SBB yang harus menjadi prioritas.
Salah satu poin yang menjadi perhatian dari tokoh adat ini adalah, harga sewa lahan dari perusahaan kepada pemilik lahan yang ditanami Pisang Abaka tersebut, dimana dalam satu hektar lahan, para pemilik lahan hanya mendapatkan nominal sebesar Rp3.000.000. hingga Rp5.000.000 per 30 Tahun penggunaan lahan.
Untuk itu, jika dikonversikan maka, pada setiap tahun para Pemilik Lahan Pisang Abaka tersebut hanya memperoleh Rp100.000 hingga Rp116.000 perhektar lahan.
"Jumlah nominal itu terlalu kecil, saya meminta para tokoh adat tiga batang air: Etty, Tala dan Sapalewa, bersama pemilik lahan dan perusahaan PT SIM untuk duduk bersama satu meja, dan memperhitungkan ulang kesepakatan kontrak yang merugikan anak adat SBB ini, " cetus Panna.
Selain itu, Panna juga meminta para anak adat pemilik wilayah petuanan, untuk tidak melakukan kontrak lahan kepada Perusahaan diatas 30 Tahun, pasalnya jika kontraknya diatas 30 Tahun, maka hak kepemilikan atas wilayah petuanan bisa hilang.
Menurut Panna, ketegasan pihaknya terhadap perusahaan PT SIM yang melakukan penanaman Pisang Abaka di sejumlah wilayah di Kabupaten SBB ini, selain melindungi hak anak adat, juga berdasarkan pengalaman yang terjadi di wilayah perkebunan Kelapa Sawit di Latea dimana anak pemilik lahan yang bekerja di perusahaan tersebut terkena sanksi pemecatan. (Nicko Kastanja)
Posting Komentar